tirto.id - Pegiat antikorupsi dari PUKAT UGM Zaenur Rohman menilai aksi korupsi yang dilakukan Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat dan anggota DPR RI Fraksi Nasdem Ary Egahni Ben Bahat bukan lah modus baru. Zaenur menilai, modus yang dilakukan pasangan suami istri itu kerap dilakukan pejabat lain dengan menyalahgunakan wewenangnya.
"Ini modus lama politisi di daerah menggunakan kewenangannya sebagai pejabat publik, sebagai kepala daerah untuk mengumpulkan dana politik dengan korupsi ya," kata Zaenur kepada tirto, Rabu (29/3/2023).
Zaenur menambahkan, modus korupsi yang paling sering dilakukan pejabat adalah penjualan perizinan, menerima suap atau gratifikasi pada pengadaan barang dan jasa, pengisian jabatan pegawai daerah hingga korupsi anggaran.
"Nah sepertinya yang dilakukan oleh Bahat dan hari ini itu modusnya adalah meminta SKPD untuk mengumpulkan modal gitu ya guna kepentingan kontestasi politik bagi Bahat dan Arys secara pribadi ya, Mengikuti berbagai konsentrasi politik di Pilkada maupun di pemilihan anggota legislatif," kata Zaenur.
Zaenur melihat ada sejumlah metode spesifik yang dilakukan. Pertama, Bahat menggunakan anggaran SKPD dan memanipulasi untuk membuat kegiatan fiktif hingga penggelembungan. Kedua, SKPD diminta menjadi pengumpul
dana dari pihak swasta yang meminta perizinan.
"Biasanya ya bentuknya persentase dari nilai pekerjaan ya yang dilaksanakan oleh swasta itu diminta untuk dikembalikan dalam bentuk suap atau gratifikasi. Misalnya ada yang 7%, 10% 12% gitu ya. Jadi yang kedua adalah cara seperti itu," kata Zaenur.
Modus ketiga adalah dengan meminta uang tertentu pada pejabat SKPD. Uang tersebut merupakan biaya untuk mendapatkan atau mempertahankan jabatan.
"Jadi siapa siapa setiap pegawai atau pejabat di daerah yang ingin menduduki jabatan tertentu itu harus menyetor sejumlah uang kepada kepala daerah," kata Zaenur.
Zaenur menilai, kasus Kapuas tidak lepas dari masalah high cost politic. Modus ini, kata Zaenur, lazim dilakukan kepala daerah korup yang ingin maju kontestasi pemilu maupun pemilihan kepala daerah.
"Ini Kasus yang sudah lama dan memang penyakitnya ini ya memang karena high cost politic, money politic
minim pengawasan kemudian akhirnya terjadi korupsi," kata Zaenur.
Zaenur menilai permasalahan korupsi demi kepentingan kandidasi tidak mudah untuk diberantas. Ia menyarankan agar demokratisasi internal partai politik dengan pendekatan pembelian perahu perlu dihapus.
Kemudian, pemerintah membuat instrumen efektif dalam pemberantasan politik uang.
"Siapapun yang melakukan money politic itu harus didiskualifikasi dari kontestasi pemilihan, baik untuk pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah dan ini hampir tidak pernah dilakukan karena memang instrumen pengawasan kita sangat lemah, Bawaslu dengan perangkat aturan yang dibentuk oleh DPR dan pemerintah itu semuanya sangat lemah," kata Zaenur.
"Selama persoalan-persoalan yang menimbulkan high cost politic ini tidak diselesaikan ya korupsi di daerah itu akan terus terjadi," tutur Zaenur.
KPK sebelumnya menetapkan Bupati Kapuas Ben Brahim S. Bahat dan istrinya Ary Egahni yang merupakan anggota DPR RI sebagai tersangka korupsi.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak mengatakan Bahat yang menjabat selaku Bupati Kapuas diduga menerima fasilitas dan sejumlah uang dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Pemkab Kapuas, termasuk beberapa
pihak swasta.
Sementara itu, istrinya, Ary, diduga ikut terlibat dalam proses dugaan korupsi suami dengan menggunakan jabatan untuk meminta sejumlah uang kepada SKPD demi memenuhi kebutuhan pribadi.
Selain itu, Bahat dan Ary diduga juga menggunakan uang tersebut untuk keperluan operasional kontestasi politiknya.
"Biaya operasional saat mengikuti pemilihan Bupati Kapuas, pemilihan Gubernur Kalimantan Tengah termasuk untuk keikutsertaan AE yang merupakan istri BBSB dalam pemilihan anggota legislatif DPR RI di tahun 2019," ujar Tanak, Selasa (28/3/2023).
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto